Suhairi Ahmad – detikNews Foto: IG daunmalam.katalog Jakarta –
Judul Buku: Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan: Anarkisme dan Sindikalisme dalam Pergerakan Kolonial hingga Revolusi Indonesia 1908-1948; Penulis: Bima Satria Putra; Penerbit: Pustaka Catut, 2018; Tebal: xxiii+ 225 hlm
Anarkisme seringkali disebut sebagai biang kerok kekerasan dan ini sudah mencapai puncaknya di Indonesia. Media massa beramai-ramai menggunakan diksi tersebut untuk menjelaskan segala hal terkait kebrutalan, kerusuhan, dan pengrusakan lainnya. Pandangan tersebut seolah final untuk memaknai dan memahami anarkisme. Seperti halnya isme-isme yang lain, ia turut menjadi korban bahasa yang diselewengkan dalam percakapan sehari-hari.
Namun, ada hal lain ketika May Day 2019 beberapa waktu lalu. Pihak kepolisian menyebut kemunculan anarko sindikalis adalah fenomena baru yang berkembang di Indonesia (detikcom, 2/5). Padahal gerakan ini muncul dan berumur sama tuanya dengan gerakan nasional sejak masa awal pergerakan nasional di Indonesia. Anarkisme pernah menjadi salah satu varian gerakan yang memiliki andil dalam pemberontakan rakyat melawan pemerintah kolonial Belanda.
Istilah Anarkisme sendiri berasal dari kata Yunani « anarki« . Terdiri dari dua kata, awalan an (atau a) yang bermakna ketiadaan, tidak, atau kekurangan. Lalu dilanjutkan dengan kata archos yang berarti suatu peraturan, pemimpin, kepala, atau kekuasaan. Maka anarchos/anarchein berarti tanpa pemerintahan. Tanpa pemerintahan inilah yang kemudian menjadi inti terkait paham anarkisme, tanpa pemerintahan yang berwujud negara sebagai otoritas tertinggi. Secara harfiah berarti tanpa peraturan, tanpa pemimpin, tanpa tuan.
Anarkisme muncul sebagai salah satu gerakan sosialis jauh sebelum paham marxisme berkembang di Eropa pada abad ke-18 (Ben Anderson, Di bawah Tiga bendera). Tokoh kunci pemikir anarkisme antara lain Piere Joseph Proudhon yang pikirannya pernah berkembang di revolusi sosialis tanpa partai, Komune Paris (1871). Selain itu, Mikhail Bakunin pernah tampil di Internasionale I dan menjadi lawan debat yang cukup sengit bagi Karl Marx. Di forum tersebut, Bakunin dan Marx berselisih paham terkait masa transisi setelah kapitalisme apakah perlu diktator proletariat atau tidak. Perselisihan tersebut tidak menemui titik terang antara kedua kubu dan pada 1872 kubu anarkis bersama Bakunin didepak dari Internasionale I. Lalu beberapa tahun kemudian aliansi gerakan sosialis ini membubarkan diri.
Tak banyak sejarawan menyadari keberadaan anarkisme di Indonesia. Satu di antara yang menyadari anasir anarkisme itu adalah Soe Hok Gie. Gie membaca kecenderungan nihilisme dalam Sarekat Islam di Semarang yang notabene bertendensi marxisme. (Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, hlm. 40)
Nihilisme dalam beberapa hal berbeda dengan anarkisme. Namun, orientasi politiknya dengan anarkisme punya irisan yang sama untuk menghancurkan otoritas, termasuk otoritas pimpinan organisasi dan pemerintah kolonial yang menindas.
Minimnya literatur yang menjelaskan keberadaan anarkisme di Indonesia membuat ideologi politik satu ini sering disalahartikan dan bahkan dianggap tidak pernah ada dalam sejarah pergerakan nasional. Banyak yang menganggap anarkisme baru masuk ketika komunitas punk hadir pada kisaran tahun 1980-an. Buku Perang yang Tidak akan Kita Menangkan yang ditulis oleh Bima Satria Putra ini memberi gambaran penting terkait anarkisme dalam babakan sejarah Indonesia.
Anarkisme muncul bersama gelombang besar saat komunisme dan nasionalisme menjadi imajinasi pemberontakan melawan pemerintah kolonial. Max Havellar menjadi buku pertama yang menjelaskan kecenderungan « anarkistik » di Hindia Belanda. Buku yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker pada 1860 tersebut mengkritik keras pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Buku tersebut menjadi pemantik bagi gerakan sosialis dan anarkis di berbagai negara. Bahkan, menurut Peter Kropotkin di esai Anarchism dalam The Encyclopedia Britanica, buku tersebut bisa disejajarkan dengan karya Nietzsche, Emerson, W. Lloyd Garrison, Thoreau, Alexander Herzen, dan Edward Carpenter. Tak berlebihan jika Max Havellar menjadi inspirasi gerakan sosialis dan anarkis di berbagai tempat. Seperti si patriotik Filipina, Jose Rizal, yang juga mengagumi buku monumental tersebut dan menjadi ilham bagi perjuangan rakyat di Filipina (Ben, Di Bawah Tiga Bendera, hlm. 71).
Selain Filipina, buku tersebut tersebar ke beberapa negara Eropa Barat. Dan di Belanda, buku tersebut berhasil mempengaruhi para liberal progresif Belanda untuk mendesak reformasi politik yang lebih baik di tanah jajahan, termasuk di Hindia Belanda. Hasilnya, 40 tahun kemudian lahirlah paket kebijakan politik Trias Van Deventer: edukasi, irigasi, dan emigrasi yang disahkan oleh Ratu Wilhemia pada 1901 (Bima, hlm. 37-38).
Walaupun Max Havellar tersebut memberi inspirasi bagi kaum anarkis (Frank van der Goes, Multatuli over Socialisme, 1896), Dekker bukan seorang anarkis. Ia merupakan seorang humanis radikal yang bergerak atas nama kemanusiaan.
Pada 1918, Darsono mengurus koran Sinar Djawa dan mengangkat Semaun—yang saat itu menjadi ketua Sarekat Islam (SI) di Semarang—menjadi anggota redaksi. Di koran tersebut, Darsono memakai nama samaran Onosrad menulis perihal nihilis Rusia. Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa « begitulah perang tandingnya pemuda-pemuda (nihilis) yang gagah berani melawan pemerintah yang berlaku sewenang-wenang, tidak takut di bunuh, tetap hati karena suci, sampai mati. » (Onosrad, Nihilis Rusia dalam Sinar Djawa, 2 April 1918).
Dokumentasi tersebut menunjukkan ada hubungan yang amat lentur dalam tubuh SI. Perbedaan ideologi politik tidak menjadi persoalan. Sebab, bagi mereka musuh yang paling nyata adalah penjajah di tanah Hindia Belanda. Oleh karena itu, bagi Bima, gerakan kiri di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Dalam sejarah Indonesia, ide-ide anarkis hidup dan mewarnai organisasi-organisasi yang bertendensi marxisme dan sosial-demokrat. (Bima, hlm. 89)
Anggota PKI yang seringkali memakai nama samaran pula salah satunya Herujuwono, Ketua Seksi PKI di Pekalongan. Herujuwono bersama Alimin memegang kendali koran Api yang diterbitkan partai yang kini terlarang tersebut. Koran Api seringkali mengutip Bakunin dalam editorialnya sepanjang tahun 1926. Hal inilah yang kemudian menjadi tegangan yang tidak bisa dihindarkan dalam tubuh PKI.
Tulisan lain yang ditulis oleh Sukarno juga memberikan penjelasan yang cukup ringkas apa itu anarkisme. « Anarchisme ialah salah satu paham atau aliran dari socialisme, oleh karenanya anarchisme itu adalah lawannya kapitalisme … anarkis itu mufakat sekali dengan persoonlikje vrijheid, ialah kemerdekaan sendiri-sendiri, oleh karena kemerdekaan itu adalah haknya alam yang tidak bisa dihancurkan, » ungkap Sukarno (Fikiran Ra’jat, No. 2, 8 Juli 1932)
Gerakan anarkis sama-sama hancur ketika Tragedi 1965 memusnahkan semua gerakan kiri di Indonesia. Gerakan ini baru muncul kembali ketika pada 1980-an bersama ramainya komunitas punk dan beberapa gerakan otonom di berbagai daerah. Bahkan, gerakan anarkis bernama Front Anti-Fasis (FAF) pernah bergabung bersama Partai Rakyat Demokatik (PRD) pada 1999. Kelompok ini secara terbuka mendaku diri sebagai anarko-punk yang terdiri dari komunitas punk, anak jalanan, pemuda, dan preman. Selain itu, pada Desember 1999 muncul Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNus) yang diinisiasi oleh FAF. FAF kemudian membubarkan diri setelah kongres kedua yang gagal di Yogyakarta pada tahun 2000. Serta, seperti kasus-kasus sebelumnya, ada perbedaan prinsipil yang membuat kelompok ini harus berpisah dengan PRD (Bima, hlm. 218).
Anarkisme menemukan momen kemunculannya pada 2007 dengan membentuk Jaringan Anti-Otoritarian (JAO). Jaringan ini terdiri dari berbagai afinitas, kelompok, dan komunitas anarkis di berbagai daerah di Indonesia. Dalam sejarah Indonesia pasca-Reformasi, bendera hitam pertama kali berkibar pada May Day 2008. Saat itu, JAO melakukan aksi long march di Jakarta dari STIE Perbanas ke Wisma Bakrie.
Selain itu, pada 9 Desember 2009, puluhan anarkis-insurgen memancing kerusuhan pada Hari Anti Korupsi se-Dunia.
Sampai saat ini, gerakan anarkisme dengan beragam varian tersebar di berbagai wilayah Indonesia ketika May Day 2019. Selama ada kekuasaan modal dan menindas rakyat, semangat kaum anarkis akan terus menyala dan merayakan May Day secara sukarela.
Oleh karena itu, tidak tepat bila gerakan anarkis di Indonesia sebagai gerakan yang baru muncul seperti kata Pak Polisi Tito Karnavian beberapa waktu lalu.
==========
Anarchism Movement and Ideas in Indonesia
Suhairi Ahmad – detikNews
Anarchism Movement and Ideas in Indonesia Photo: IG daunmalam.katalog
Jakarta –
Book Title: War We Will Not Win: Anarchism and Syndicalism in the Colonial Movement until the Indonesian Revolution 1908-1948; Author: Bima Satria Putra; Publisher: Catut Library, 2018; Thickness: xxiii + 225 p
Anarchism is often referred to as the culprit of violence and this has reached its peak in Indonesia. The mass media are using the diction to explain everything related to brutality, riots and other destruction. This view seems final to understand and understand anarchism. Like other isms, he also became a victim of language that was distorted in everyday conversation.
However, there are other things when in May Day 2019 some time ago. The police call the emergence of syndicalist anarcho is a new phenomenon that is developing in Indonesia (detikcom, 2/5). Though this movement emerged and was as old as the national movement since the beginning of the national movement in Indonesia. Anarchism was once one of the variants of the movement that had contributed to the popular uprising against the Dutch colonial government.
The term Anarchism itself comes from the Greek word « anarchy ». Consists of two words, the prefix (or a) which means nothing, nothing or lack. Then proceed with the word archos which means a rule, leader, head, or power. So anarchos / anarchein means without government. Without this government, which then becomes the core related to anarchism, without government in the form of the state as the highest authority. It literally means without rules, without leaders, without masters.
Anarchism emerged as one of the socialist movements long before Marxism developed in Europe in the 18th century (Ben Anderson, Under the Three Flags). Key figures for anarchist thinkers include Piere Joseph Proudhon whose mind had developed in the socialist revolution without a party, the Paris Commune (1871). In addition, Mikhail Bakunin had performed at International I and was a fierce debate opponent for Karl Marx. At the forum, Bakunin and Marx disagreed over the transition period after capitalism, whether or not it needed to dictate the proletariat. The dispute did not come to light between the two camps and in 1872 the anarchist camp with Bakunin was expelled from the International I. Then a few years later the alliance of the socialist movement dissolved itself.
Not many historians are aware of the existence of anarchism in Indonesia. One of those who was aware of the anarchist element was Soe Hok Gie. Gie read the tendency of nihilism in Sarekat Islam in Semarang which incidentally has the tendency of Marxism. (Soe Hok Gie, Under the Red Lantern, p. 40)
Nihilism is in some ways different from anarchism. However, its political orientation with anarchism has the same incision to destroy authority, including the authority of oppressive colonial organizations and government leaders.
The lack of literature that explains the existence of anarchism in Indonesia makes this one political ideology often misinterpreted and even considered to have never existed in the history of the national movement. Many consider that anarchism only entered when the punk community was present in the 1980s. This book of War that We Won’t Win, written by Bima Satria Putra, provides an important picture of anarchism in the history of Indonesia.
Anarchism emerged with a big wave when communism and nationalism became the imagination of a revolt against the colonial government. Max Havellar became the first book to explain the « anarchistic » tendency in the Dutch East Indies. The book, written by Eduard Douwes Dekker in 1860, strongly criticized the Dutch East Indies colonial government.
The book is a lighter for socialist and anarchist movements in various countries. In fact, according to Peter Kropotkin in Anarchism’s essay in The Encyclopedia Britanica, the book can be paralleled by the works of Nietzsche, Emerson, W. Lloyd Garrison, Thoreau, Alexander Herzen, and Edward Carpenter. It is no exaggeration if Max Havellar has inspired socialist and anarchist movements in various places. Like the Filipino patriotic, Jose Rizal, who also admired the monumental book and became an inspiration for the people’s struggle in the Philippines (Ben, Under the Three Flags, p. 71).
Besides the Philippines, the book was spread to several Western European countries. And in the Netherlands, the book succeeded in influencing Dutch progressive liberals to push for better political reform in the colonies, including in the Dutch East Indies. As a result, 40 years later the Trias Van Deventer political policy package was born: education, irrigation, and emigration which was endorsed by Queen Wilhemia in 1901 (Bima, pp. 37-38).
Although the Max Havellar inspired anarchists (Frank van der Goes, Multatuli over Socialisme, 1896), Dekker was not an anarchist. He is a radical humanist who moves in the name of humanity.
In 1918, Darsono managed the Sinar Djawa newspaper and appointed Semaun, who was then the head of the Sarekat Islam (SI) in Semarang, to become an editorial member. In the newspaper, Darsono used the pseudonym Onosrad to write about Russian nihilists. In his writings, he asserted that « that is the fight of young men (nihilists) who are valiant against the government that applies arbitrarily, are not afraid of being killed, remain careful because they are holy, until death. » (Onosrad, Russian Nihilis in Sinar Djawa, 2 April 1918).
The documentation shows that there is a very flexible relationship in the SI body. Differences in political ideology are not a problem. Because, for them the most obvious enemy was the invaders in the Netherlands East Indies land. Therefore, for Bima, the left movement in Indonesia cannot be seen singly. In Indonesian history, anarchist ideas live and color organizations with Marxist and social-democratic tendencies. (Milky, p. 89)
PKI members who often use pseudonyms are also one of them Herujuwono, Chair of the PKI Section in Pekalongan. Herujuwono and Alimin took control of the newspaper Api which was published by the now banned party. The Fire Newspaper often quoted Bakunin in his editorial throughout 1926. This then became an inevitable tension in the body of the PKI.
Other writings written by Sukarno also provide a fairly concise explanation of what anarchism is. « Anarchism is one of the ideas or the flow of socialism, therefore anarchism is the opposite of capitalism … anarchists are very much in agreement with persoonlikje vrijheid, is individual independence, because independence is the right of nature that cannot be destroyed, » said Sukarno (Ra’jat Thoughts, No. 2, 8 July 1932)
The anarchist movement was equally destroyed when the 1965 Tragedy annihilated all leftist movements in Indonesia. This movement only reappeared when in the 1980s with the hectic punk community and several autonomous movements in various regions. In fact, an anarchist movement called the Anti-Fascist Front (FAF) once joined the Democratic People’s Party (PRD) in 1999. This group openly claimed to be an anarcho-punk consisting of punk communities, street children, youth, and thugs. In addition, in December 1999 the Anti-Fascist Archipelago Network (JAFNus) emerged, initiated by the FAF. The FAF then disbanded after the second unsuccessful congress in Yogyakarta in 2000. And, like the previous cases, there were differences in principles which made the group split with the PRD (Bima, p. 218).
Anarchism found its moment of emergence in 2007 by forming the Anti-Authoritarian Network (JAO). This network consists of various affinity, groups and anarchist communities in various regions in Indonesia. In Indonesia’s post-Reformation history, the black flag first flew on May Day 2008. At that time, JAO held a long march in Jakarta from STIE Perbanas to Wisma Bakrie.
In addition, on December 9, 2009, dozens of anarchist-insurgents provoked riots on World Anti-Corruption Day.
Until now, anarchism movements with various variants spread across various regions of Indonesia during May Day 2019. As long as there is capital power and oppressing the people, the spirit of anarchists will continue to ignite and celebrate May Day voluntarily.
Therefore, it is not appropriate if the anarchist movement in Indonesia as a new movement emerged as said by Police Tito Karnavian some time ago.
https://news.detik.com/kolom/d-4554662/gerakan-dan-ide-anarkisme-di-indonesia?
4 commentaires sur Gerakan dan Ide Anarkisme di Indonesia